GubugJiwa

Terjebak Dalam Toxic Relationship

2 komentar
Hubungan yang Toxic

    Salah satu trend kata toxic adalah toxic relationship. Kenapa yah hal ini bisa menjadi sebuah trend ? Apa mungkin karena banyak orang menjalani hubungan seperti ini ? Tapi sebenarnya seperti apa sih hubungan yang tidak sehat ini ?

Apa Hubunganku Termasuk Toxic Relationship ?

    Toxic relationship ini diartikan sebagai hubungan yang berdampak negatif bagi diri sendiri maupun orang lain (Julianto, dkk., 2020). Hubungan yang tidak sehat ini dapat berbentuk kekerasan secara fisik, verbal, maupun emosional hingga kekerasan seksual.
    Kata-Kata Toxic Relationship
    Namun, sewajarnya sebuah kehidupan, hubunganpun pasti memiliki permasalahannya sendiri. Jika seseorang membayangkan sebuah hubungan yang sempurna tanpa sebuah permasalahan maka hal tersebut bisa kita anggap sebagai sebuah hal yang mustahil. Sebagai seorang manusia yang dibekali oleh sistem emosi, maka hal yang wajar apabila sesekali lepas kontrol sehingga melakukan sebuah perilaku yang keras, namun apabila hal tersebut sudah berada di luar batas, maka kita dapat memperhitungkan kembali nasib hubungan itu kedepannya.

Kenapa Masih Bertahan ?

    Terdapat dua hal yang membuat seseorang masih saja bertahan dalam hubungan yang tidak sehat (menurut Argyle, 2004 dalam Najah, 2009 yang tertulis dalam Julianto, 2020), yaitu :

1. Kebulatan Tekad

    Seseorang yang memilih untuk bertahan dalam sebuah hubungan yang tidak sehat karena masih ingin mempertahankan hubungannya. Tekad yang bulat dalam hubungan ini  membuat seseorang tidak ingin atau tidak sanggup untuk terlepas dari hubungan yang tidak sehat.

2. Pathways Thinking

    Selain tekad yang bulat, alasan seseorang tetap mempertahankan hubungan yang tidak sehat adalah pemikiran yang positif tentang keyakinannya untuk mengubah pasangan menjadi lebih baik. 

Stockholm Syndrome

    Terdapat sebuah istilah yang akan membantu kita memahami apa itu Toxic Relationship, yaitu Stockholm Syndrome. Disebutkan oleh Graham, dkk (1995, dalam Sekarlina, 2013) bahwa keadaan ini berkembang pada hubungan interpersonal yang tidak sehat dan penuh kekerasan.
Toxic Relationship
    Sindrome ini dapat menimbulkan beberapa kesalahan berpikir atau distorsi kognitif. Nah.. lebih lanjut kita coba ulas terlebih dahulu tentang definisi dari stockholm syndrome ini.

Apa Itu Stockholm Syndrome ?

    Sindrom ini muncul pada pelaku yang menunjukkan sisi baik pada korban agar korban memiliki harapan akan perubahan perilaku yang dilakukan oleh pelaku, melalui hal tersebut menimbulkan sebuah ikatan atau hubungan yang tidak sehat dan membuat korban sulit untuk terlepas dari hubungan itu (Graham, dkk., 1994; Carver, 2009 dalam Sekarlina, 2013).
    Jika sebelumnya kita membahas tentang adanya Pathways Thinking yang membuat korban merasa bahwa perilaku pasangannya dapat berubah menjadi lebih baik, mungkin saja berhubungan sindrom ini, dimana pelaku memberikan harapan perubahan perilaku dengan menunjukkan sisi baiknya.
    Lebih lanjut lagi Graham, dkk.(1995 dalam Sekarlina, 2013) mendefinisikan sindrom ini sebagai sebuah paradoks psikologi yang menimbulkan ikatan kuat antara pelaku dan korban, ikatan ini berupa perasaan cinta yang besar dari korban ke pelaku, melindungi pelaku, menganggap diri sendiri adalah penyebab kekerasan, dan cenderung menyangkal kekerasan yang terjadi.

Hal-Hal Yang Mengembangkan Stockholm Syndrome

    Terdapat empat hal menurut Graham, dkk.(1995 dalam Sekarlina, 2013) yang mengembangkan sindrom ini, yaitu :

1. Terdapat ancaman akan keselamatan korban. Ancaman ini dapat berupa ancaman fisik hingga psikologis oleh pelaku.
2. Selain ancaman tindakan kekerasan, pelaku juga memberikan ancaman agar korban tidak pergi atau melarikan diri dari pelaku.
3. Adanya larangan dari pelaku agar korban tidak berhubungan dengan dunia luar, termasuk dengan orang lain.
4. Pastinya, pelaku menunjukkan sisi baik kepada korban dalam berbagai bentuk.

Kesalahan Berpikir Akibat Stockholm Syndrome

    Mungkin karena sudah menjalin hubungan toxic terlalu lama ditambah sang pasangan menunjukkan potensi untuk berubah, (hanya potensi atau janji saja tanpa ada perilaku yang nyata) membuat korban memunculkan beberapa kesalahan berpikir atau distorsi kognitif. Sekarlina (2013) telah melakukan penelitian dengan mewawancarai tiga narasumber yang menjadi korban dari toxic relationship  ini dan hasil penelitian menyebutkan bahwa terdapat 9 distorsi kognitif sebagai berikut :
1. Korban tidak memikirkan tujuan atau dampak jangka panjang, ia hanya berfokus pada hal-hal yang harus dilakukan untuk bertahan saat itu juga.
2. Korban merasa bahwa kekerasan yang terjadi tidak terlalu buruk, cenderung meminimalisir kekerasan yang terjadi.
3. Mencari alasan yang logis akan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku, menganggap bahwa penyebab kekerasan terjadi diluar diri pelaku.
4. Cenderung menyalahkan diri sendiri.
5. Melihat dari sudut pandang pelaku seperti : dirinya adalah penyebab kemarahan pelaku, tidak ada orang selain pelaku yang mampu mencintai korban, kebutuhan dan kemauan pelaku menjadi kebutuhan untuk dirinya.
6. Perilaku kekerasan yang ditunjukkan oleh pelaku dianggap sebagai bentuk cinta.
7. Korban merasa bahwa perilaku kekerasan yang dilakukan oleh pelaku akan berhenti jika korban bersikap baik dan memberikan cinta serta perhatian yang besar kepada pelaku.
8. Meyakini bahwa ia sangat menyayangi dan mencintai pelaku.
9. Korban percaya bahwa jika masuk penjara, pelaku pasti tetap akan kembali mencarinya.

    Lalu, apakah teman-teman merasa terjebak dalam hubungan yang toxic atau masih dalam tahap wajar ?. Coba tanyakan pada diri temen-temen diri dan pertimbangkan keputusan apa yang terbaik untuk kedepannya. 

Referensi 

Julianto, V., Cahayani, R. A., Sukmawati, S., & Aji, E. S. (2020). Hubungan antara Harapan dan Harga Diri Terhadap Kebahagiaan pada Orang yang Mengalami Toxic Relationship dengan Kesehatan Psikologis. Jurnal Psikologi Integratif, 103-115.

Sekarlina, I., & Margaretha. (2013). Stockholm Syndrome pada Wanita Dewasa Awal yang Bertahan dalam Hubungan yang Penuh Kekerasan. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 1-6.

    Sekian yah artikel tentang toxic relationship ini. Mohon maaf apabila ada kata yang menyinggung. Terimakasih sudah membaca sampai akhir dan silahkan ajukan pendapat di kolom komentar. 
santiriksa
Sedang belajar ngeblog II Yuk Follow IG @gubug_jiwa atau klik logo Instagram di halaman paling bawah

Related Posts

2 komentar

  1. Kok ngeri ya baca ini hiyyy...
    Mudah-mudahan pasanganku kelak gak gini

    BalasHapus

Posting Komentar