Membahas tentang konsep laki-laki dan perempuan seolah tidak terlepas dari sudut pandang gender dan budaya sosial, termasuk di dalamnya sudut pendang terkait laki-laki tidak boleh menangis. Ketika ada seorang laki-laki yang menangis seolah tampak lemah dan tidak maskulin, namun apakah benar konsep tersebut ? Bahkan sebenarnya perempuan pun masih sering menyembunyikan tangisnya agar tampak tegar.
Sebenarnya membahas tentang maskulinitas ini juga bukan hanya pada perspektif laki-laki, namun perempuan juga memiliki sisi maskulinitas, hanya saja memang tidak dominan. Sebelum masuk ke pembahasan lebih lanjut, mari kita coba gali terkait konsep maskulitas terlebih dahulu. Fiuh~ kali ini aku bertanya-tanya dengan diriku sendiri kenapa mengambil konten yang cukup membingungkan ini hahaa curcol.
Konsep Maskulinitas
Drianus (2019) menyebutkan bahwa Flood, dkk (2007) mencatat konsep maskulinitas muncul di akhir tahun 1970-an dimana terdapat beberapa kata dasar seperti :
Masculin (Bahasa Inggris pada abad Pertengahan) = laki-laki
Masculinus (Bahasa Perancis pada abad Pertengahan) = laki-laki
Masculus (Bahasa Latin) = laki=laki
Sehingga, awalnya kata maskulin lebih mengacu pada kualitas pada diri individu dengan jenis kelamin laki-laki, seperti kejantanan, kelelakian, dan kekuasaan.
Lebih lanjut lagi, Flood (2002, dalam Drianus, 2019) menjabarkan konsep maskulinitas dalam tiga fenomena acuan, yaitu
1. Sebuah bentuk kepercayaan, idealitas, gambaran, representasi, dan wacana.
Jadi maskulinitas merupakan sebuah konsep berpikir, letak dari bagaimana kita mendefinisikan atau mengartikan maskulinitas ini berada di dalam isi kepala kita dimana bersifat subjektif karena dipengaruhi oleh budaya.
2. Sifat yang membedakan antara perempuan dan laki-laki
Maskulinitas disini menjadi sebuah faktor pembeda antara individu dengan jenis kelamin laki-laki dan individu dengan jenis kelamin perempuan berupa sikap. Dimana perempuan cenderung menunjukkan sikap feminim, sedangkan laki-laki cenderung menunjukkan sikap maskulin. Akan tetapi tidak disebutkan bahwa perempuan tidak memiliki sikap maskulin, begitu pula sebaliknya. Sehingga, perempuan masih dapat memiliki sikap maskulin meskipun tidak dominan, dan laki-laki masih dapat memiliki sikap feminim meskipun tidak dominan juga.
3. Strategi yang dimunculkan oleh laki-laki untuk berkuasa dan melanggengkan kekuasaannya.
Sikap maskulin ini berupa bentuk potensial (belum nampak) maupun aktual (sudah nampak) untuk memiliki sebuah kekuasaan, atau sikap kepemimpinan. Oleh karena itu dalam beberapa ajaran, laki-laki lebih dipercaya sebagai seorang pemimpin dibanding perempuan. Bahkan di dalam lingkup keluarga, yang menjadi pemimpin keluarga adalah sosok laki-laki.
Apakah Toxic Masculinity hanya tentang Laki-Laki Tidak Boleh Menangis ?
Tentu saja tidak, ada berbagai macam bentuk toxic masculinity yang muncul di kehidupan kita sehari-hari. Diantaranya sebagai berikut :
1. Laki-laki tidak boleh menangis
Sebuah konsep tentang menangis ini seolah hanya perempuan yang boleh menangis. Jika ditelusuri dari penyebab menangis, maka mayoritas penyebabnya adalah perasaan sedih. Lalu apakah laki-laki tidak boleh bersedih ? Tentu saja boleh, karena laki-laki juga manusia yang sudah terlanjur diberi perangkat emosi lengkap dengan rasa sedih.
Jika perempuan boleh mengungkapkan perasaan sedihnya melalui tangisan, maka laki-lakipun juga boleh. Hanya saja penempatan dimana kita menangis saja yang perlu dijaga. Bukan hanya untuk laki-laki, namun juga perempuan dituntut untuk tidak menangis di depan umum. Meskipun ketika menangis di depan umum, perempuan akan lebih dimaklumi ketimbang laki-laki. Hal ini adalah pengaruh budaya.
Jadi untuk para lelaki, is okay kalau kalian mau nangis kok, asal di tempat yang tepat yah.. Dan juga untuk para perempuan, jika ada laki-laki yang menjadikanmu tempatnya menangis, cobalah menjadi tempat yang nyaman untuk menjaga sisi rapuhnya.
2. Tidak keren kalau tidak merokok dan tidak minum minuman keras
Hal ini yang sering ditemui oleh remaja laki-laki, dimana rasa penasaran masih sangat tinggi dan kontrol diri masih cukup rendah. Kontrol di masa remaja ini masih dipegang oleh dua pihak yaitu orang tua dan orang itu sendiri. Sehingga kita tidak bisa menyalahkan secara penuh keduanya.
Namun, laki-laki yang keren tidak hanya dinilai dari kedua hal tersebut (read : merokok dan minum minuman keras), namun lebih kepada bagaimana caranya bisa mengontrol dirinya dengan baik. Menjadi hak bagi setiap orang untuk mementukan pilihannya, namun sebuah kesalahan jika menjadikan rokok dan minuman keras sebagai sebuah patokan.
3. Selalu menunjukkan agresifitas dan sikap kasar
Merasa kebih maskulin kalau berani berantem dengan orang lain ? Itu wajar, yang tidak wajar adalah ketika ada masalah sedikit langsung main kasar, apalagi dengan perempuan.
Kembali ke konsep kontrol diri tadi, maskulin bukan berarti orang yang tidak punya kontrol diri yah. Penyelesaian masalah dengan kepala dingin masih bisa kita sebut sebagai laki-laki yang maskulin kok, jadi tidak perlu selalu menunjukkan kekuatan fisik.
4. Harus membayar biaya kencan Apakah tidak boleh ? Tentu saja boleh, namun bukanlah sebuah kewajiban, apalagi sampai merugikan diri sendiri. Meskipun tidak dapat dipungkiri hal ini sudah menjadi budaya di Indonesia bahwa laki-laki yang harus membayar biaya kencan, namun menjadi hak bagi laki-laki juga untuk memberikan ketegasan kepada pasangannya terkait hal tersebut.
5. Baper
"Cowok kok baperan ?"
Seolah laki-laki tidak boleh baperan ya hehee, namun sesungguhnya hal ini tidak hanya dialami oleh laki-laki saja. Trend kata "baper" ini seolah membuat seseorang tidak boleh memiliki perasaan hehee.. Kata "baper" ini merujuk pada perasaan sakit hati yang dialami oleh seseorang.
Baik untuk laki-laki maupun perempuan nih, boleh saja sakit hati kepada orang lain, namun kita masih punya kendali dalam merespon hal tersebut. Bahkan, kita juga bisa mengontrol hal-hal apa saja yang bisa kita cerna lebih lanjut, dan mana saja yang bisa kita abaikan.
Memang "Wagu" ketika kita menemui orang yang dikit-dikit ngambek atau marah bahkan sampe gak mau ngerjain tugasnya. Nah ini ranahnya sudah jelasnya, bahwa orang tersebut kesulitan mengontrol emosinya, bahkan cenderung dikontrol oleh emosinya. Jadi, yuk belajar bersama untuk mengontrol emosi.
Referensi
Drianus, O. (2019). HEGEMONIC MASCULINITY : Wacana Relasi Gender dalam Tinjauan Psikologi Sosial. Psychosophia, 36-50.
Cukup dulu yah pembahasan kita terkait toxic masculinity ini, bahwa sebuah hal yang tidak tepat ketika mengatakan bahwa laki-laki tidak boleh menangis. Terimakasih sudah membaca sampai akhir, mohon maaf apabila terdapat kata yang kurang berkenan. 😊
Ya ampun kak, siapa bilang laki2 tidak boleh menangis? Apa lagi pas lagi awal viralnya sobat ambyar sampai sekarang. Dan saya termasuk itu. Terkadang saya menangis pada saat keinget mantan, baca kembali artikel blog saya yang bercerita tentang mantan, yang kedua lw melihat / membaca tontonan atau bacaan yang mengharukan, yang ketiga pada saat saya ingat dengan dosa2 saya, terkadang sampai nagis2 pengen memperbaiki diri, tapi nyatanya susah sekali mau membiasakan diri selalu berbuat baik. Pasti ada aja sebab dan akibat yang mengharuskan kita berbelok arah. Sangat ingin seperti sahabat Umar, orangnya tegas, tapi hatinya lembut. Huhuhu Saya salah satu dari laki2 tapi berhati Hello Kitty.
BalasHapusIya betul sekali Kak, meskipun orang bilang kalau laki-laki mengedepankan logika, namun tetap saja memiliki hati ya Kak. Selamat kak telah berdamai dengan perasaan sendiri. Semoga diberi kelancaran dalam semua rencana baiknya.
HapusTerimakasih telah berkunjung
Iya kak. Sama saja, manusia yang masih mempunyai hati dan perasaan, pasti masih bisa meneteskan air mata. Aamiin kak. Makasih untuk do'a baiknya. 🤗🤗🤗
Hapus